Tas
ransel biru yang warnanya sudah memudar itu di letakkan Bayu perlahan di atas
meja kayu kecil di tengah rumahnya. Penarik resleting tas yang berbenturan
dengan triplek bekas yang dipungut ayah Bayu untuk dijadikan meja belajar
anaknya itu, menimbulkan bunyi kas yang secara ajaib membuat seisi rumah
menahan nafas. Mereka lalu serentak menggeser pantatnya ke depan, semakin
mendekat ke arah Bayu.
Tas
ransel tersebut agaknya memang sangat menarik perhatian seisi murah. Bagaimana
tidak, saat Bayu keluar dari mobil sedan hitam yang mengantarnya pulang,
keluarga bayu sudah bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang sangat berharga di
dalam tas tersebut. Bayu tak menyandangnya di punggung selayaknya tas ransel biasa.
Dia hanya meletakkan satu tali ke bahu sebelah kanan, dan tas itu dia dekap
sangat erat dengan kedua tangannya di dada. Dia seolah tak mau ada yang merebut
tas yang sudah hampir lima tahun bersamanya itu darinya. Dan ketika dia sampai
di depan pintu rumah yang tak lebih luas dari pada ruangan kelas adiknya di SDN
Cempaka Layu itu, seluruh anggota keluarganya sontak mengerubunginya.
“Apa
isi tas itu Bayu?” saut Sari. Kakak tertuanya yang bulan depan akan menikah itu.
“Sabar
kak, aku harus mengatur nafas dulu” saut bayu menyeringai.
Semua
orang tanpa komando ikut-ikutan menarik nafas panjang, menahan hasrat mereka
yang sudah menggebu – gebu untuk segera melihat isi tas yang sudah mereka
tunggu sejak lima hari yang lalu itu.
***
Bu
Susi mengaduk – ngaduk dedak dengan sebongkah nasi hampir basi yang dia dapat
dari tetangga sebelah. Adonan kesukaan tiga ekor ayamnya itu, dia letakkan di
sebuah panci bekas yang sudah digunakan untuk ayamnya dari generasi ke generasi.
Saat menuangkan genggaman dedak terakhir ke dalam panci, bu Susi mendengar
sebuah mobil memasuki halaman rumahnya yang berbatu – batu.
Bu
Susi segera menuju kamar mandi kecilnya yang terletak disamping kandang ayam
untuk mencuci tangan. Dia lalu bergegas menuju depan rumah untuk melihat siapa
orang yang tersesat ke rumahnya. Terang saja, hampir tidak pernah ada mobil
yang memasuki pekarangan rumah kayunya dan berhenti, kecuali mobil – mobil yang
akan berbalik arah setelah sopirnya tersadar kalau dia memasuki jalan buntu.
Saat
sampai di perkarangan, mata Bu Susi seperti hendak mau copot, dan bibirnya
ternganga lebar melihat orang yang keluar dari mobil yang tampak sangat mewah
di matanya itu. Bocah berseragam SMP yang baju putihnya semakin menguning itu
adalah anak lelaki satu – satunya, Bayu. Jika dia tak salah lihat juga
seseorang dengan baju kemeja abu - abu membukakan pintu mobil untuk Bayu, dan
mempersilahkannya turun.
Bayu
menyeringai lebar melihat ibunya yang sedang terpelongo. Dia lalu mengalihkan
pandangannya ke orang yang barusan membukakan pintu untuknya.
“Terima
kasih pak sopir”
Lelaki
yang umurnya hampir tiga kali umur bayu itu mengangguk kecil “Jangan lupa lima
hari lagi saya jemput ya pak.”
Setelah
mobil itu melaju meninggalkan mereka, dan bu Susi juga sudah sadar dari kagetnya,
dia langsung mengintrograsi Bayu.
“Itu
tadi mobil siapa?”
“Mobilnya
pak Firman bu” Jawab Bayu polos.
“Pak
Firman yang jualan gorengan di depan gang? ” Respon bu Susi tak percaya.
“Bukan
Bu. Ini Pak Firmannya beda. Dia orang kota.” Bayu menjelaskan.
“Oh..
bapak yang tadi bukain pintu itu pak Firman?” Namun kemudian nada suara bu Susi
meninggi setelah dia sadar dengan apa yang dia lihat beberapa menit yang lalu.
“Kamu ya bay, tidak sopan sama orang tua. Sudah dibukain pintu, panggil kamu
bapak lagi”
Belum
sempat menjawab omelan ibunya, tiba – tiba Pak Tatang, Ayah Bayu muncul dari
balik pintu, lengkap dengan satu pancingan yang dibuat seadanya dari kayu
bekas, dan satu ember berisi 3 ekor ikan sungai ukuran sedang. Ikan – ikan yang
sekali – kali masih mengelinjang itu akan menjadi uang untuk membeli beras
untuk makan malam ini.
“Kenapa
ini bu marah – marah?”
“Ini
pak si Bayu tidak sopan sama orang tua” Bu Susi menjitak kepala Bayu. Satu
kali.. Dua kali
“Bukan
bu” Bayu buru – buru menjelaskan sambil mengusap – ngusap ubun – ubunya yang
kesakitan “Yang tadi itu bukan Pak Firman bu. Itu Sopirnya. Begitulah orang
kota bu, Sopir harus manggil bapak ke bos atau kenalan bos. Tadi Sopirnya pak Firman
jelasin begitu, Bayu juga bingung sih bu.”
Tak
mengerti dengan apa yang sedang dibicarakan istri dan anaknya, pak Tatang
berjalan ke sudut kiri rumah dengan wajah kebingungan, kemudian melekakkan
ember berisi ikan itu disana, lalu kembali bergabung dengan istri dan anaknya.
Dia ikut – ikutan mengintrogasi Bayu.
“Ini
kalian sedang ngomongin pak Firman yang jualan gorengankan?”
“Bukan
yah...” jawab Bayu dan Bu Susi serentak.
Dahi
ayah Bayu terlihat semakin berkerut
“ntar
malam ya Bayu ceritain, Kak Sari dan Dea pasti mau dengar juga.” Dia tersenyum
kecil.
***
Semua
anggota keluarga Bayu sudah berkumpul di ruang tamu yang di malam hari jadi
kamar tidur, dan yang di saat – saat tertentu jadi ruang makan keluarga itu. Cukup
beralaskan tikar yang rajutannya sudah copot disana sini, keluarga ini makan
bersama membentuk lingkaran. Namun kali ini bukan acara makan malam saja. Kak
Sari, dan Dea, adik Bayu yang baru saja mendengar kalau Bayu pulang diantar
dengan mobil mewah itu ikut – ikutan bersemangat seperti ayah dan ibu. Ditemani
bau terasi yang menyeruak dari sepiring tumis kangkung ditengah mereka, Bayu
melanjutkan ceritanya.
***
Bayu
berjalan seorang diri melewati jalan setapak yang becek karna habis diguyur
hujan tadi pagi. Puluhan pohon tinggi dengan daunnya yang lebat melindungi
langkahnya dari terpahan sinar matahari di siang seterik ini. Ini adalah akses
paling dekat untuk bayu dari sekolah ke rumah, atau sebaliknya. Setiap hari
sekolah dia harus melewati jalanan di hutan ini dua kali sehari. Sebenarnya
Bayu bisa melewati jalanan yang lebih bagus dan sudah di aspal lagi beberapa
minggu yang lalu, tetapi itu memakan waktu tempuh hampir dua kali lipat dari
jika dia melewati jalan di hutan ini.
Asyik
memperhatikan langkahnya untuk menghindari genangan air di sepanjang jalan
tersebut, tiba – tiba bayu mendengar suara dari kejauhan. Suara tersebut
terdengar seperti suara orang yang kehabisan napas. Bayu melihat kesekeliling,
tapi tak ada apa – apa yang terlihat. Bulu – bulu halus di pundak, dan
tangannya mulai berdiri. Hal – hal serem yang diceritakan temannya tentang
hutan ini mulai mengusik pikiran Bayu. Walau sudah berkali – kali lewat jalan
ini, dan belum bertemu dengan gambaran – gambaran serem tersebut, namun Dia
merasa sosok yang diceritakan tersebut akan menampakkan diri hari ini.
Bayu
mempercepat langkahnya, namun baru beberapa meter, dia mendengar lagi suara
yang terdengar semakin besar. Namun kali ini suara orang minta tolong.
Terdengar parau dan berat. Dia mulai ragu, Hantu yang ceritakan temannya adalah
seorang wanita muda yang sering ketawa dengan suaranya yang melengking tajam.
Namun kali ini suara bapak – bapak.
Walau
agak ragu, Bayu mencoba mendekat. Dia membalik badan, dan maju beberapa langkah
melawan kakinya yang terasa berat. Sepertinya suara itu berasal dari pohon
besar yang berjarak beberapa meter di depan pandangannya pikir Bayu. Dia terus
berjalan pelan melewati rumput – rumput tinggi sambil sekali – kali memanjangkan
lehernya ke arah depan untuk mencoba mengintip sosok di balik pohon tersebut.
Tetapi dia belum melihat apa – apa. Suara minta tolong yang tadi terdengar juga
sudah lenyap dimakan kesunyian hutan. Terganti dengan suara detak jantungnya
yang semakin kencang. Bayu akhirnya memutuskan untuk kembali ke jalan setapak.
Dia harus sampai di rumah sesegera mungkin pikirnya.
Namun
langkahnya kembali terhenti ketika suara tersebut terdengar lagi, kali ini
semakin kecil. Tanpa pikir panjang, Bayu berbalik arah ke pohon besar tersebut.
Rasa takutnya dikalahkan oleh rasa penasaran. Dengan detak jantung yang semakin
kacau, bayu akhirnya sampai di pohon tua yang memanggil – manggilnya itu. Dia
melihat seorang pria dewasa seumuran ayahnya terkulai lemas di samping pohon. Pria
itu memegangi dadanya yang kembang kempis. Suara tarikan nafas terdengar jelas
di telinga Bayu. Dia berusaha sekuat tenaga menarik seluruh oksigen di
sekitarnya, namun sepertinya tak ada yang berhasil. Selain itu wajah dan hampir
seluruh tubuhnya bergelimang tanah. Sekilas dalam paniknya Bayu melihat
beberapa goresan luka di tangan dan wajahnya.
Dia
melihat kedatangan Bayu. Dia menggapai – gapai meminta tolong. Bayu lalu
mendekat setelah memastikan bahwa pria itu benar – benar manusia.
“Kenapa
pak? ada apa pak?” tanya Bayu panik.
Masih
dengan tarikan nafasnya yang tak berirama, Pria itu mengangkat tangan, dan
menunjuk-nunjuk ke arah atas pohon di depannya. Pohon itu termasuk berukuran
kecil jika dibandingkan dengan pohon – pohon lain di hutan ini. Pohon tersebut
terletak beberapa meter dari pohon besar yang Bayu amati tadi.
Bayu
lalu mengikuti arah yang ditunjuk oleh pria itu. Dia melihat sebuah tas hitam
kecil tersangkut di salah satu dahan pohon itu. Dengan bakat alami yang dia
dapat dari pergaulan di desanya, dia memanjat pohon itu dengan sigap, mengambil
tas hitam tersebut, dan bergegas kembali ke samping pria yang semakin kehabisan
nafas.
Dia
langsung mengambil tas dari tangan Bayu, membuka resletingnya, dan mengeluarkan
sebuah botol kecil dari sana. Terdapat sebuah corong kecil di ujung botol itu. Benda
itu ditempelkannya ke hidung, dan dia lalu
menarik nafas sebanyak – banyaknya.
Selang
beberapa menit, pria itu sudah kembali bisa bernafas dengan normal. “Terima
kasih” katanya. Terdengar lega dihujung tarikan nafas pendeknya.
Bayu
mengangguk sambil tersenyum kecil. Matanya sesekali melihat ke arah botol kecil
yang dipegang pria bersuara berat itu.
“Siapa
namamu?”
“Bayu
pak” jawab Bayu.
“Saya
Firman”
Bayu
tersenyum kecil.
Setelah
memasukan kembali botol kecil, Pak Firman lalu mengeluarkan hp dari dalam tas,
dan terlihat menghubungi seseorang. “Pak, jemput saya sekarang ya.” Katanya
pada seseorang di ujung telpon. Dia meminta Bayu untuk membantunya berdiri, dan
memopongnya ke ujung jalan setapak yang tadi Bayu lewati. Mereka berbalik arah
ke jalan beraspal di depan sekolah Bayu. Sesampai disana, sudah menunggu sebuah
mobil sedan warna hitam. Sopir pak Firman langsung membantu Bayu memopongnya ke
mobil.
“Bayu,
kamu tinggal dimana?” tanya pak Firman dari dalam mobil.
Bayu
melongok ke dalam mobil berkursi hitam mengkilap itu. Interior mobil langsung
menarik perhatiannya. Matanya tertuju pada TV kecil di bawah spion dalam mobil.
Dia bahkan tidak punya TV di rumah pikirnya.
“Disana
pak, di balik hutan.” Tunjuk Bayu.
“Kalau
begitu kamu ikut ke rumah saya dulu, nanti pak sopir yang antarin kamu ke
rumah”
“gak
usah pak, saya bisa jalan sendiri kok” jawabnya sambil sekali – kali plangak plongok
ke dalam mobil. Dia memperhatikan setiap detail di dalamnya, hiasan yang di
pasang di dashboard, Radio yang rangkanya memantualkan cahaya matahari yang
melewati kaca jendela berfilm yang sedikit terbuka, dan karpet lembut yang
diinjak sepatu kotor pak Firman. Tercium olehnya wewangian yang disemprotkan
dari AC mobil di dekat pak Sopir.
“nggak
apa – apa. Masih jauhkan ke dalam?”
Rasanya
tak ada alasan yang tepat untuk Bayu menolak kesempatan langka ini. Dia
menyetujui ajakan pak Firman, dan mobil itupun bergerak menjauhi sekolahnya.
Mereka mengobrol di sepanjang perjalanan. Tentang sekolah Bayu, dan tentang
pekerjaan pak Firman. Pak Firman mengatakan kalau dia adalah seorang dosen yang
sedang mengadakan penelitian di hutan depan sekolah Bayu. Orolan mereka
terhenti ketika mobil bergerak mendekat ke sebuah Villa sewaan di tepi jalan
besar.
***
Mata
Bayu menerawang mengamati ke seluruh sisi Villa. Villa ini memang tak terlalu
jauh dari desanya. Setiap hendak pergi ke pasar dia selalu melewati Villa ini.
Tetepi baru kali ini dia berkesempatan memasukinya. Kayu – kayu coklat
mengkilat yang menopang villa ini menarik perhatiannya. Sangat kontras dengan
susunan – susunan bambu tua yang membentuk rangka rumahnya. Lukisan – lukisan
abstrak yang di tempel di dinding tak
kalah mencengangkan Bayu. Dia pernah melihat lukisan di buku pelajarannya, tapi
itu melulu soal pemandangan, bunga – bunga, atau orang- orang penting, tak ada
warna – warna tak beraturan seperti ini.
“Usia
kamu berapa Bayu?” Tanya Pak Firman sambil menekan remote TV.
“Lima
hari lagi, tiga belas tahun pak.”
“Oh,
jadi kamu sebentar lagi ulang tahun.”
Sejak
SD dulu, kata ulang tahun selalu menarik perhatian Bayu. Ada satu atau dua
temannya yang merayakan, ikut – ikutan gaya orang kota pikirnya. Mereka
biasanya mendapatkan hadiah spesial dari orang tuanya. Ntah itu buku buku
tulis, pensil, atau yang paling bagus tas sekolah yang di beli di pasar impres.
Untuk anak kampung seperti mereka itu sangat wah.
“Hmm..
Kalau gitu lima hari lagi kamu kesini. Saya kasih hadiah.”
***
“Kira
– kira Bayu dikasih apa ya?” tanya bayu bersemangat pada keluarganya. Satu
suapan sayur kangkung lagi masuk ke mulutnya.
“Temanku
minggu lalu ulang tahun juga, dan dia dapat tas baru dari ibunya.” Jawab adik
perempuan Bayu satu – satunya itu sambil mengingat – ngingat cerita Nina, teman
SDnya yang cukup beruntung bisa merayakan ulang tahun.
“Iya,
mudah–mudahan dikasih tas ya sama pak Firman. Tas Bayu udah jelek banget.” Di
melihat ke arah tas biru yang digantung di sudut rumah. Tak teritung sudah
berapa kali ibunya harus menjahit ulang tas itu karena jaitannya sudah copot
disana sini.
Ibu
manggut – manggut sambil terus melahap nasi di piring plastiknya.
“Kalau menurut kakak sih kamu juga bakalan
dapat makanan enak Yu. Mungkin saja ayam goreng ala amerika yang tempo hari
dibeliin bang Mamat di pinggir kota” Ucapnya. Pikirannya menerawang ke ayam
goreng yang dibelikan calon suaminya dari penjaja makanan di trotoar tepi jalan
beberapa hari yang lalu.
“Jadi
sepertinya bakalan dapat tas, dan ayam goreng ya?” Bayu tersenyum membayangkan
hari terspesial yang akan di hadapinya lima hari lagi itu.
***
Seluruh
anggota keluarga bayu sudah berkumpul di tengah rumah. Seluruh mata mereka
terpampang ke satu arah, ke arah Bayu. Tas yang bayu pegang di tangannya masih
sebesar sebelum dia pergi ke penginapan pak Firman. Tak ada tanda – tanda kalau
tas itu berisi gulungan tas baru, dan se kotak ayam goreng. Setelah menyadari
itu, Dea dan Kak Sari mulai kurang bersemangat. Tetapi ibu dan ayah hanya diam,
sambil memperhatikan tas lusuh bayu dengan sangat fokus. Mereka lalu menarik
nafas lega berbarengan.
“Oke
Bayu bukanya” senyum menyeringai kembali tampak dimukanya. Dia seperti paham
dengan ketidaksabaran keluarganya. Bayu mulai menarik resleting tas, namun tiba
– tiba.
“Assalammualaikum....”
pak RT muncul dari balik Pintu.
“Sedang
apa ini? Bayu mau sulap ya?” Bayu memang terlihat seperti akan mengeluarkan
merpati, atau gulangan – gulangan kertas warna warni dari tasnya. Keluarganya
tak ubahnya penonton penasaran yang menantikan – nantikan aksi spektakuler
Bayu.
“Ini
pak RT, kak Bayu dapat hadiah ulang tahun.” Jawab Dea
“Dari Pak Firman. Bukan Pak Firman yang jualan
gorengan loh. Dia orang kaya dari kota.” Dea buru – buru menjelaskan sebelum
pak RT kebingungan..
Pak
RT yang sukses dengan tambak ikannya itu ikut – ikutan penasaran, dan mulai
memperhatikan tas di tangan Bayu dengan seksama. Matanya menatap fokus ke dalam
tas.
“Kalau
menurut saya sih uang. Biasaya orang dari kota gitu kalau ngasih orang kampung.
Lebih gampangkan ngasih uang dari pada capek – capek ngasih hadiah. Lebih
bermanfaat juga” tebak pak RT dengan yakinnya,
Bayu
menggeleng
“Oh,
padahal kan mending uang” Matanya mulai bergeleria mengamati seisi rumah. Tikar yang didudukinya
hanyalah tikar usang yang semakin pudar yang dibentangkan diatas lantai semen
yang tak di cor. Tak ada juga barang elektronik yang bercokol di rumah ini.
Uang lebih dibutuhkan disini pikirnya.
“Oke
deh, Bayu buka sekarang.” Bayu menarik resletingnya cepat, agar keluarganya tak
keburu mati penasaran.
Tangannya
mulai masuk ke dalam tas, dan ditariknya sebuah amplop besar dari tas tersebut.
Bayu membuka amplop itu, dari dalam amplop muncul selembar kertas putih. Dia
membuka lembaran kertas itu.
“Surat?”
tanya adik kaget.
“Dengan ini saya akan
membayar seluruh biaya dan kebutuhan sekolah Bayu sampai kuliah S1” Bayu
membacakan surat itu untuk keluarganya.
Ibu dan Ayah hanya
terpelongo mendengar apa yang dibacakan Bayu, dan kemudian serentak mereka
tersenyum, dan menghembuskan nafas panjang untuk yang kesekiankalinya. Kakak
dan adek seakan tak berdaya hanya untuk mengatup bibir mereka.
Bayu senyum – senyum
girang melihat respon keluarganya.
“Padahal kan mending
uang” Ulang pak RT.
***
Dua hari yang lalu
Setelah
bermain sepakbola di lapangan tengah kampung dengan teman – teman Bayu bergegas
kembali kerumah. Setengah jam lagi dia harus melaksanakan tugas dari guru
ngajinya, azan Maghrib. Dia harus bergegas mandi, dan bergerak ke musholla.
Dia
berjalan cepat menghampiri pintu rumah, namun langkahnya terhenti setelah
mendengar suara Ayah.
“Ayah
nggak yakin bisa membiayai sekolah bayu sampai tamat bu” ungkap ayah.
“Ibu
juga nggak yakin yah.” Ucap ibu parau.
“Kalau
tau – tau Bayu harus putus sekolah, tas yang dari pak Firman nanti buat apa ya
yah?”
“Jangan
pikirkan itu dulu bu, kan belum tentu dapat tas juga.” Ucap ayah menenangkan.
Mendengar
kerisauan orang tuanya, tanpa sadar air mata menetes dari pipi Bayu. Dia
memutar badan, dan berjalan ke belakang rumah, menuju kamar mandinya. Setelah
itu dia bergegas menuju Musholla untuk melantunkan azan Maghrib.
Seusai
sholat, bayu berdo’a “Ya Allah, jangan beri Bayu tas baru”
***
0 komentar:
Posting Komentar
Tuliskan komentarnya disini ya...