Apakah
ini akhir dari persahabatan ku dengan Bayu? Aku sebelumnya tak pernah mengira
Bayu akan melakukan ini. Di awal-awal kenal dengan Kikan, dia sudah terlihat
menyerah karena tau aku juga suka dengan gadis itu. Bahkan dia mengajariku
bermain gitar untuk bisa memuluskan niatku dekat dengan Kikan. Tapi setelah
bertahun berlalu, akhirnya perang ini terjadi juga. Dia telah mulai mengambil
ancang-ancang untuk mengancurkanku.
Sebenarnya semuanya ada ditanganku.
Tergantung keputusan apa yang akan aku ambil. Kikan pasti akan bertanya lagi
padaku soal Bayu sebelum akhirnya memutuskan jawabannya. Jika aku memilih untuk
menjelek-jelekan Bayu, habis sudah kesempatannya untuk mendapatkan Kikan. Namun
jika sebaliknya, Bayu akan memenangkan hati gadis yang sudah ku taksir
bertahun-tahun itu, dan aku akan semakin terpuruk sebagai pecundang. Tapi apa
aku sanggup melihat mereka bahagia nantinya? Apa aku ikhlas melepas Kikan untuk
sahabatku sendiri? Berat, aku tak akan berdaya.
Ketika sampai dirumah setelah dari
rumah Bayu, aku bergegas masuk ke kamar, tak mau terlihat Kikan. Aku belum memutuskan
apa yang harus ku lakukan. Dari kamar, dari balik tirai dijendela kamarku, aku
mengintip ke atas, ke lantai 3 rumahnya. Dia baru saja sampai disana dan
berdiri disisi sebelah kiri menghadap kearah rumahku. Pasti dia sedang menantiku.
Aku tak akan kesana sore ini. Semenit berselang, aku lihat dia mengeluarkan hp
dari saku celananya. Ku bergegas meraih hp yang ku letak diatas meja, lalu
segera mematikannya. Ekspresi kecewa terlihat jelas diwajahnya saat menyadari
kalau hpku mati. Aku berbalik arah ketempat tidur, dan memutuskan untuk istiraat
sebentar memulihkan emosi.
Belum sempat terlelap, kak Maya
mengetok pintu kamarku. “Ndra, Kikan nunggu dibawah tu, dia mau ketemu
katanya.” Aku langsung tersendak ditempat tidurku. Gadis itu ternyata tak
main-main, dia benar-benar berniat untuk tau tentang Bayu dari ku. Aku sendiri
belum memutuskan apa yang harus ku jawab. Tapi apapun itu, aku tak ingin
menjadi orang baik yang mengorbankan perasaannya sendiri. Mungkin itu sudah
keputusan dan jawaban yang hatiku pilih. Dengan yakin ku turun kebawah
menemuinya, lalu mengajaknya ke taman.
Sesampai disana, tanpa basa-basi
lagi Kikan kembali bertanya hal yang sama. Dengan masih ragu, kumpul-kumpulan
kejelakan bayu, baik yang benar maupun yang sedikit ku dramasitir, sudah siap
ku utarakan pada gadis itu. Namun saat bibirku berucap, yang ku dengar keluar
dari mulutku, bukanlah hal-hal yang inginku kusampaikan itu. Benar-benar beda,
bibirku telah berkianat. “Bayu.. selama aku kenal dia, setauku dia tak pernah
macam-macam. Dia sudah dua kali pacaran sebelum ini. Dan mereka putus bukan
karena dia. Dengan pacar pertamanya, putus karena ceweknya itu tidak boleh
pacaran sama orang tuanya sehingga mereka terpaksa putus. Dengan pacar
keduanya, putus karena ceweknya ini pindah ke luar kota. Dia nggak playboy kok,
jangan takut.” Bibirku terus saja mencerocos
tanpa henti tanpa mempedulikan lagi perasaanku. Tanpa ditanya Kikan lagi,
dan tanpa memberinya waktu untuk bertanya, aku terus saja mengungkapkan apa
yang tak seharusnya ku kataka tentang sainganku. Tak ada sedikitpun kejelekan
yang ku beberkan. Selesai mengungkapkan itu semua, badanku benar-benar lemah,
dan lunglai. Aku serasa menusuk-nusukkan pisau kehatiku sendiri.
***
Apa yang ku lakukan sore itu benar
saja telah berubah semuanya. Mulai dari hubungan Kikan dengan Bayu. Tak butuh
waktu lama, informasi itu menyebar keseluruh penjuru sekolah, mulai dari siswa
kelas satu sampai kelas tiga, ibu-ibu kantin, satpam gerbang, sampai beberapa
guru pun sepertinya tau juga. Kikan dan Bayu akhirnya jadian. Sebagai ketua Osis,
tentu saja gerak-gerik Bayu jadi perhatian semua orang. Belum lagi, ketika dia
berhasil mendapatkan hati gadis tercantik disekolah, maka informasi itu akan
tersihar dengan segera.
Begitupun aku, aku mendengarnya dari
Abu. Dia segera menemuiku saat mendengar berita itu. Sebagai sahabatku juga,
dia tentu saja tau selama apa aku menaruh hati pada Kikan. ‘Lu, nggak apa-apa
kan ndra?” “nggak, mau gimana lagi” jawabku sekenanya. Aku paham Abu pasti kuatir
kalau masalah ini akan merakibat buruk terhadap persahabatan dan band kami.
Terlebih lagi, bulan depan, kami harus mengikuti kompetisi band di salah satu
mall terbesar dikota ku. Aku sendiri tak ingin menghancurkan band ini. Ini band
yang kami bangun dengan susah payah. Tapi apa aku sanggup memperbaiki
persahabatanku dengan Bayu?
Ketika hendak meninggalkan Abu,
tiba-tiba Bayu datang dibelakang kami. Walaupun dia paksa untuk terlihat
bersimpati dengan kesakitan hatiku, tapi wajah bahagianya itu tak akan bisa
ditutupi. “Sorry ndra..” Aku hanya tersenyum kecil seadanya, lalu pergi
meninggalkan mereka berdua memasuki kerumunan siswa yang sedang mengantre
memesan makanan dikantin sekolah.
***
Siap mencintai, berarti harus siap
juga merasa sakit. Aku tau itu, tapi aku tak siap. Terlebih lagi aku sendiri
yang membuat ini semakin rumit. Kalau saja Kikan tak jadian dengan Bayu mungkin
tak akan sesakit ini. Setiap melihat mereka berdua, aku harus selalu terbayang
bagaimana Bayu memperlakukannya sebagai pacar nanti. Aku tak sanggup
membayangkan ketika Sahabatku itu memegang tangan, atau merangkul pundaknya.
Tak sepertiku yang semakin canggung
didekatnya, Kikan tak berubah sedikitpun. Walau aku mencoba untuk menghindar,
tapi dia selalu datang menghampiriku. Seperti sore itu, saat aku sedang
semangat membara mengocek nada demi dana dengan gitarku mencoba melantunkan
bait-bait yang mewakili perasaanku saat itu, tanpa aku sadari dia sudah ada
disebelahku, sedang duduk memperhatikan. Aku selalu mencoba setenang mungkin
meresponnya. “Hi, kan” sapa ku. Dia membalas dengan senyum, seindah biasanya.
“Nyanyi lagi yang lain dong” pintanya.
Aku menangguk, dan mulai memetik
gitarku. Kikan hanya mendengarkan, sambil menurunkan sedikit badannya, dan
menyandarkan kepala di kursi. Aku terus hanyut dalam bait demi bait yang ku
bawakan. Hingga ketika aku selesai, Kikan mulai bersuara lagi.
“Hmm.. oh iya.. ndra.. Selama ini
kamu nyanyiin lagu Taylor Swift buat aku. Sebenarnya keberatan apa nggak?”
Aku kanget mendengar Kikan bertanya
begitu. Dia tampak serius.
“Ah? Kok tanya gitu sih? Ya
nggaklah, aku kan juga suka lagu-lagunya”
“Maaf, bukannya nggak percaya. Tapi
tadi aku minta bayu mainin lagu Taylor Swift buat aku. Tapi dia nggak mau. Dia
nggak suka katanya, malah nyanyiin lagu lain.” Kikan tampak manyun.
“Bayu memang kurang suka sama
lagu-lagu dari penyanyi cewek, apa lagi genre nya country. Dia lebih ke
band-band pop atau pop rock gitu.”
“Nah itu maksudku. Kalian kan satu
band. Harusnya selera musik kalian sama. Kalau Bayu nggak suka, berarti kamu
juga kan?” Wajahnya semakin berkerut.
“Memang kami semua sama-sama penyuka
pop dan pop rock. Makanya kami bisa disatukan. Tapi kan nggak harus sama
persis. Tentu ada saja yang berbeda. Contohnya, Si Abu, dia itu juga suka lagu
balad, selain pop rock. Sedangkan si Bagas dia nggak suka itu. Tapi band kami
baik-baik saja kan” Jawabku jujur. Tapi apakah sekarang band kami benar-benar
baik-baik saja? Aku bahkan belum pernah gabung dengan mereka lagi sejak hari
Kikan dan Bayu jadian itu.
“Hmm.. Jadi benar nih nggak
keberatan?” Kikan tersenyum sambil bertanya
“Iya”
“Ya udah.. kalau gitu coba nyanyi
sekarang”
Aku langsung menerima tantangannya,
dan mulai melantunkan lagu Love Story
nya Taylor Swift. Seperti biasa, dia terlihat begitu menikmati alunan gitar dan
suaraku. Ini cukup, walau hati ini masih perih, dekat Kikan semua nya seakan
sembunyi sesaat. Sakit ini cuma sedang menikmati jedanya, cuma menunggu waktu
ketika nanti hati ini akan kembali terluka.
***
Sungguh, aku benar-benar tak ingin
menghancurkan band ini. Bagaimana mungkin. Bertahun-tahun membesarkannya
bersama-sama, Kini musik sudah jadi tujuan utamaku, dan Band inilah Jalannya.
Tapi sudah dua minggu lamanya aku tak pernah lagi latihan dengan mereka,
padahal kami harus manggung dikompetisi band beberapa minggu lagi. Beberapa
kali Abu, dan Bagas datang kerumah, walau mereka tak terang-terangan memaksaku
untuk latihan lagi karena mereka juga memikirkan perasahaanku yang belum siap
ketemu dengan Bayu, tapi aku paham betul mereka. Mereka sudah mulai panik
dengan keadaan yang semakin tak jelas ini.
Namun hari itu, saat aku sedang
duduk didepan meja komputer sedang memainkan beberapa game yang baru saja aku
beli, tiba-tiba seseorang mengetok pintu kamarku. Awalnya aku tak mempedulikan,
mungkin itu Kak Maya yang lagi-lagi iseng menggangguku. Dia belum berubah
sedikitpun sampai sekarang. Namun sekali lagi pintu ku diketok, dan seseorang
yang ku kenal mulai bersuara dari balik pintu kayu bercat coklat tua itu.
“Ndra.. ini gue Bayu” Pasti dia dipaksa Abu, dan Bagas datang kesini.
“Masuk aja, nggak dikunci” Balasku
dengan nada malas. Bayu membuka pintu Kamarku pelan-pelan. Aku tak melihat
kearahnya, masih pura-pura fokus dengan game yang sedang ku mainkan. Dia lalu
duduk dikasur, dan kemudian hening saja seolah sedang berpikir keras untuk
memulai pembicaraan. Akupun tak berniat untuk memulainya. Bayu mengalah, lalu
memaksa keras dirinya untuk memecah keheningan itu. Walau dia berusaha untuk
terlihat santai, namun gugupnya tak akan bisa disembunyikan.
“Wah.. game baru ya, kayaknya bagus
nih. Gantian dong” Dia lalu merampas mouse dari tanganku. Aku terpaksa
mengalah, dan berdiri. Lalu berbalik, dan duduk dikasurku. Bayu mulai mencoba
fokus dengan gamenya. Namun ku tau, pikiran kembali bercabang, bagaimana
memulai membicarakan niatnya sore ini kerumahku. Akupun mulai kesal, dan
terpaksa berbicara.
“Gue tau, lu kesini pasti ada
maksudnya. Apa? Mau maksa gue main band lagi?” Aku mencerocos tanpa belas
kasihan
Bayu melepaskan mouse dari
tangannya, dan membalik badan menghadap padaku. Tak lama, di monitor komputer
ku lihat, para zombie kelaparan berhasil menggerogoti dan menggigit tokoh utama
game itu sampai darahnya habis.
“Iya ndra. Lu nggak boleh
mengabaikan band kita begini saja. Kompetisi kali ini berarti banget untuk
kita. Ini kelasnya udah tinggi, jauh diatas kompetisi-kompetisi yang kita
ikutin sebelumnya. Dan lu tau itu kan? Kita harus semakin sering latihan. Kita
belum matang, dan masih butuh latihan. Lagu yang kita akan bawakan itu, juga
masih mentah, butuh banyak perombakan lagi.” Bayu mulai menghiba. Aku hanya
terdiam sambil melihat kearah yang tak jelas. Sepertinya, Abu, dan Bagas sukses
memaksa Bayu untuk menghiba didepanku.
“Besok kita latihan distudio biasa
jam 5 sore. Lu harus datang”
“Gue usahain” balasku sekenanya. Aku
benar-benar ingin datang, namun terlalu banyak “tapi”dalam otakku kini.
“Ok, gue cabut dulu” Bayu mengambil
jeketnya yang diletakkan diatas kasurku tadi, lalu berjalan menuju pintu
kamarku. Namun langkahnya kemudian terhenti, dan mulai berbicara lagi. “Dan..
makasih lu sudah ngomong baik-baik tentang Gue didepan Kikan.” Suaranya parau.
Aku bisa merasakan kalau dia benar-benar berbicara tulus saat itu. Tak berniat
sedikitpun untuk membuatku murka mengingat itu lagi.
“Lu tau darimana kalau gue ngomong
gitu?” jawabku
“Kikan yang bilang, thanks and…..
sorry, gue nggak ada maksud sedikitpun merusak persahabatan kita.” Dia lalu
membuka pintu, dan berjalan keluar.
***
Aku berusaha keras memaksa diriku
untuk menganggap ini tak pernah terjadi. Tapi berat memang. Kami bertiga sudah
kusut, terjalin-jalin tak karuan. Aku cinta Kikan. Kikan dicintai oleh Bayu.
Bayu itu sahabatku. Dan Kikan dan Bayu kini berpacaran. Bagaimana bisa semua
ini akan berjalan sewajar biasanya.
Namun aku tak mungkin mengorbankan
band yang sudah kami bangun ini demi mengindari Bayu. Aku terpaksa mengiraukan
sakit hatiku demi cita-citaku ini. Entah sampai kapan ini akan bertahan. Tapi
aku harus memilih ini. Dan sore itu ku dapati diriku sudah berdiri di depan
studio yang biasa kami sewa untuk latihan. Butuh pergulatan batin lagi untuk
memasukinya.
Saat membuka pintu studio, di dalam
sudah ada Abu dan Bagas sedang duduk disamping drum dengan wajah kusut mereka.
Mereka tersenyum lebar saat melihatku memasuki studio yang dipenuhi
poster-poster band dari barat itu. Aku mengampiri mereka.
“Karena kalian sukses memaksa Bayu
menemui gue, gue nggak mungkin bertahan jadi pecundang. Siapkan latihan lagi?” ucapku,
sambil tersenyum.
“Siap dong” kata Bagas dengan penuh
semangat. Lalu dia melanjutkan, namun dengan raut muka yang berubah “Tapi kami
nggak pernah memaksa Bayu untuk membujuk lu ndra. Kami tau perasaan kalian
berdua. Dan kami paham gimana ruwetnya masalah ini. Kami nggak tau harus
berbuat apa”
Aku langsung terbulalak
mendengarnya. Nafasku tertahan sejenak. Tiba-tiba seorang membuka pintu. Bayu
lalu memasuki studio.
Bersambung………..
0 komentar:
Posting Komentar
Tuliskan komentarnya disini ya...