Kami semua terdiam sejenak beberapa
saat. Aku bahkan masih menunduk di balik tembok menyembunyikan wajahku darinya.
Aku tak sanggup melihat ekspresi dan responnya karena sudah tertangkap basah begini.
Aku benar- benar takut Kikan akan berpikir buruk tentangku. Namun akhirnya dia
mulai memecah keheningan. Dia menyapa kak Maya dengan suara indahnya itu.
"Sore kak"
"Sore juga Kikan, sedang
ngapain?"
"ini kak. lagi nyusun pot
bunga. tapi sudah selesai kok."
"oo.. rajin ya.. hehe.."
jawab kakak sambil senyum menyeringai
"nggak juga kok kak.. oh iya kak.. Kikan kebawah dulu
ya kak, masih ada yang harus dikerjain"
"ya.. kakak juga mau turun
kok."
Kikan melangkah pergi meninggalkan
kami berdua. Aku lalu mengangkat kepala dan melihatnya berlalu memasuki pintu
ke tangga menuju lantai dua rumahnya. Kak Maya lalu terkikik-kikik melihatku.
Aku bergerutu menampakkan wajah kesal padanya. Dia tak sedikitpun bisa diajak
berdamai. Selalu saja sukses membuatku terlihat bodoh. Dia lalu meninggalkan ku
dengan wajah puasnya itu.
Namun tiba-tiba perasaan aneh
menjalar dipikiran ku. Kikan tak memberikan respon sedikitpun atas apa yang ku
perbuat. Dia cuma meningkalkan ku sendiri dengan ribuan tanda tanya dipikiran
ku. First Impression atau kesan
pertamanya padaku pasti benar-benar buruk. Namun dia tak memberi respon. Apa
dia tak enak dengan kak maya? Dia pasti akan melabrak ku nanti. Sore itu aku
benar-benar kacau. Apa yang harus ku perbuat jika bertemu dia lagi? Ah….
***
Samar-samar aku dengar seseorang mengetok-ngetok
pintu kamarku dengar keras. Dia memanggil namaku berkali-kali. Nyawa ku belum
kembali betul pagi itu. Masih ngambang antara sadar dan alam mimpi. Mimpiku
agaknya terlalu indah untuk segera diakhiri. Cerita di mimpiku itu juga belum
mencapai ending nya. Namun suara itu
makin lama makin mengeras memanggilku tanpa jeda. Aku kenal suara itu. Si Nenek
sihir, si bikin onar, Kak maya.
“Oi.. dek bangun.. dah pagi nih… oi..” teriknya
sambir terus menggedor-gedor pintu.
Sekali lagi kak maya mengacaukan urusanku pagi itu.
Aku terpaksa melepas tangan yang sedang ku genggam itu. Sipemilik tangan
tampaknya tak rela jika kami harus segera berpisah. Dia menatapku tajam penuh
harap. Matanya berkaca-kaca dan memohon aku untuk tetap disana. “Belum saatnya
kembali” katanya. Namun aku harus segera bangun. Ku paksa nyawaku untuk segera
balik. Aku kembali ke dunia nyata.
“Iya.. udah bangun nih.. biasa aja dong..” Jawabku
kesal.
Sedikit demi
sedikit ku kumpulkan nyawaku, lalu meraba-raba mencari jam kecil disamping
tempat tidur. Aku berusaha keras membuka mata untuk sedekar melihat menit
berputar di jam biru cerah itu. Jam baru menunjukan pukul 5.30 pagi, tapi si
berisik itu baru saja membangunkan ku seperti orang yang telat dua jam. Kesal
ku benar-benar mencapai ubun-ubun, namun mendadak tertahan ketika sebuah
ingatan muncul dipikiran ku.
Aku berlari menuju meja, lalu melihat sebuah buku PR
masih tergeletak terbuka diatasnya. Masih ada lima dari sepuluh soal yang belum
ku kerjakan tadi malam. Aku bergegas mengambil pena, lalu membolak-balik buku
catatan melihat rumus-rumus yang ku pelajari minggu lalu. Sebenarnya aku cukup
lumayan untuk pelajaran matematika ini, namun tadi malam pikiran ku sedang
kacau karena peristiwa sorenya. Jadilah aku tak bisa berkonsentrasi.
Masih tergesa-gesa menyelesaikan PR, aku mendengar
suara mama memanggilku dari luar.
“Kamu sudah bangun kan ndra? Buruan mandi, ntar
telat”
“Iya ma. Dikit lagi..”
“Ah? dikit lagi? Sedang apa kamu? Bikin tugas?”
tanya mama kesal
“ Nggak.. ah.. Iya ma.. tapi nggak banyak kok..
dikit lagi..”
“ih.. kamu. Ya udah buruan..”
Aku makin bergegas menyelesaikan tugasku. Rumus-rumus
sederhana itu ku olah seadanya. Mereka berputar-putar manja dikepalaku. Otakku
pagi itu sangat akur dengan jari-jari. Mereka serasa distir oleh otak untuk
menulis cepat, tanpa jeda, bahkan untuk sekedar bernafas. Terkadang The Power of Kepepet memang tak bisa
dimengerti. Sedang terdesak begitu, semua rumus serasa mengalir dengan tenang
dikepalaku.
Beberapa menit kemudian semuanya selesai. Aku
bergegas berlari menuju kamar mandi dibawah. Dimeja makan aku melihat kak Maya
sudah rapi dengan baju putih abu-abunya, dan lalu menyeringai saat melihat ku. Awalnya
aku ingin balas dendam, namun ku urungkan karna dia sudah menolongku dengan
kejailannya tanpa sengaja pagi itu.
Aku mandi secepat kilat dan segera berpakaian tak
kalah cepatnya. Aku terpaksa melewatkan sarapan pagi itu. Jika tak buru-buru
aku harus sabar berebut angkot dengan anak-anak dari perumahan lain yang pasti
akan makin menumpuk didepan alte. Aku juga tak mungkin terlambat karena akan
menjadi pemimpin upacara pagi itu. Aku lalu pamitan, dan berjalan cepat menuju
gerbang komplek. Langkah ku terhenti, ketika ku dengar ayah Kikan yang sedang
duduk dibelakang kemudi mobilnya memanggilku.
”Ya om..”
“kenapa buru-buru? Bareng om aja ndra. Om mau
Kesekolah kamu juga, ngantarin Kikan.”
Napasku tersendak, aku tak tau apa yang harus ku
lakukan ketika bertemu Kikan pagi itu.
“Hmm.. nggak usah om, Indra naik angkot aja”
“Jangan, bareng kami aja” Paksanya.
Aku benar-benar tak bisa mencari alasan yang tepat
untuk menolak tumpangannya. Tak mungkin aku bilang kalau aku takut ketemu
anaknya pagi itu. Bisa hancur reputasiku. Lagian aku memang sangat butuh
tumpangan itu. Dengan berat hati, ku terima tawaran om Bagus, Ayah Kikan. Lalu
ku berjalan pasti menuju kursi belakang mobilnya.
Namun aku cukup tersentak sebentar ketika ku lihat
Kikan membukakan pintu dari dalam mobil, dan mengeluarkan kepalanya melihatku.
Seketika itu juga, otakku langsung ku paksa berpikir keras untuk bersikap
terhadapnya. Peristiwa sore itu masih terbayang-bayang dikepalaku. Apa yang
harus kulakukan agar tak terlalu mencolok kalau aku gugup dan takut. Nafasku
mulai tak teratur ketika sedikit demi sedikit berjalan pelan menuju kursi
tengah mobil mereka. Jantungku berdetak tak berirama. Aku cukup panik ketika
itu. Namun otakku dengan sigap langsung merespon dan memerintahkan ku untuk
bersikap sewajarnya, beri senyum seadanya, dan pura-pura tidak tau dengan
kejadian sore sebelumnya.
Tampaknya otakku telah memilih jalan yang cukup
tepat. Kikan membalas senyumku, dan sedetik kemudian dia bersuara.
“Pagi ndra..”
“Pagi kan.. Kabarmu gimana?” aku mulai terlihat kaku
dan gugup
“Alhamdulillah sehat.” Jawabnya. Aku lalu memasuki
mobil, dan duduk dibangku tengah, disampingnya.
“Sudah siap dengan sekolah baru?” tanyaku. Otakku
mulai memerintahkan ku untuk tetap relax
dan bersikap sewajarnya.
“siap, nggak siap sih.. hehe..” Jawabnya begitu friendly. Seperti Kikan benar-benar
tidak tau kejadian kemaren. Mungkin dia tak mendengar apa yang dikatakan Kak
Maya.
Aku duduk disamping Kikan dibangku tengah mobilnya.
Ayah Kikan mulai menjalankan mobil menuju gerbang, lalu meninggalkan komplek
perumahan kami menuju arah selatan, kesekolah ku. Beberapa detik lamanya kami
semua terpaku dalam diam, seolah begitu menikmati perjalanan. Padahal aku
sendiri sedang berpikir keras menemukan topik obrolan yang tepat pagi itu.
Tidak mungkin aku nanya macam-macam di depan Ayahnya. Namun Ayah Kikan yang
seorang pegawai bank swasta itu mulai memecah keheningan.
“Gimana sekolah disana ndra? Asyik nggak.. Om
takutnya Kikan sulit beradaptasi disekolah itu. Kikan bilang kemaren dia takut
sekolah disini nggak seasyik sekolah yang lama”
“Asyik kok Om.. selama ini Indra nggak ada masalah”
“Guru-gurunya galak-galak nggak ndra?” sambar Kikan
“Ada yang baik, ada juga beberapa yang galak, salah
satunya guru Fisika.. Killer habis.. hehe”
“Wah.. guru Fisika dimana-dimana begitu ya? Sekolah
lama dulu, guru Fisikanya juga serem.. hehe..”
Kami berdua akhirnya larut dalam obrolan. Ternyata
Kikan asyik diajak ngobrol. Dia tak Kaku sedikitpun. Aku juga semakin relax. Obrolan kami semakin nyambung.
Aku benar-benar menemukan sesuatu yang menarik dari Gadis itu. Cari dia
berbicara, cara dia tertawa karena humorku.
Beberapa menit berselang akhirnya kami sampai
disekolah. Beberapa anggota OSIS juga telah sibuk dilapangan menyiapkan pelaran
upacara.
“Kami mau ke ruang TU dulu sebentar ndra” kata om
Bagus
“Ya om..”
Aku lalu berjalan cepat menuju kelas ku yang
terletak disamping ruang Guru itu. Setelah itu aku bergegas kembali ke lapangan
basket ditengah sekolah untuk membantu anak-anak lain menyiapkan keperluan upacara.
Sekitar lima menit kemudian bel sekolahpun menggema keseluruh pelosok sekolah.
Para siswa satu persatu mulai keluar dari kelas mereka menuju lapangan untuk
segera mengikuti upacara bendera. Aku juga sudah siap diposisi awalku untuk
memimpin jalannya upacara. Sesekali ku arahkan pandangann ku melihat sekitar ke
arah teman-temanku berbaris. Namun ku tak bisa menemukan sosok Kikan diantara
ratusan siswa itu.
Tak lama kemudian protokol memulai upacara pagi itu.
“Pemimpin upacara memasuki lapangan upacara”
Aku mulai melangkahkan kaki dengan tegap, dan
berirama. Tanganku juga kuayunkan dengan pasti berlawanan dengan gerak kaki.
Seluruh peserta upacara terfokus memperhatikan ku. Aku akhirnya sampai ditengah lapangan upacara
dengan sempurna. Kemudian protokol melanjutkan instruksi-instruksinya, hingga
upacara bendera pagi itu pun berakhir.
***
Seluruh siswa sudah kembali kekelas, dan duduk di
bangkunya masing-masing. Beberapa siswa terlihat asyik mengobrol dengan teman
disebelah atau dibelakangnya sembari menunggu guru datang. Aku, dengan teman
sebangku ku, Bayu, juga terlibat dalam obrolan menarik saat itu. Dia
menceritakan bahwa dia sudah mulai mahir memainkan gitar yang sudah dia pelajari
sejak enam bulan yang lalu. Dia sudah sukses mengiringi beberapa lagu dengan
kocekan gitarnya sendiri. Selain itu, Bayu juga segera menyampaikan niatnya untuk
membuat band bersamaku. Dengan tampang yakinnya dia memintaku menjadi vocalist.
“Ah.. Serius lu bay? Suara gue biasa aja”
“Gue sering dengar lu nyanyi ndra. Warna suara lu
keren. Udah saatnya lu ngembangin.”
“Serius?” tanyaku sambil terlihat bangga.
“Iya… Gimana?”
“Gue pikirin dulu deh. Lu mahirin dulu aja gitarnya.
Baru kita mulai, dan cari juga personil yang lain.
“Sip.. aman. Gue udah punya kandidat kok.”
Saat mengobrol dengan Bayu tadi, aku sebenarnya
sesekali melihat ke sesekeliling kelas mencari sosok Kikan. Namun dia tak ada
dikelasku. Awalnya aku kira mungkin dia ditempatkan dikelas lain, namun
tiba-tiba masih dalam obrolan dengan Bayu tadi, Ibu Ningsih, guru matematika,
masuk kekelas diikuti seseorang yang ku kenal, Kikan. Seketika itu juga aku
langsung tersenyum. Ah.. betapa senangnya aku pagi itu. Bayu yang melihat
seorang anak baru cantik masuk ke dalam kelas, langsung salah tingkah
dibangkunya.
“Ndra.. cantik ndra..” katanya.
Aku hanya tersenyum mendengar gumaman Bayu. Aku lalu
melihat sesekililing, ternyata respon anak-anak lain tak beda dengan Bayu.
Mereka takjub.
Ibu Ningsih menyuruh Kikan memperkenalkan dirinya didepan
kelas. Beberapa anak cowok mulai memperlihatkan kejagoannya merayu, dan
disambut tawa oleh anak-anak lain. Kikan hanya tersenyum memberi respon. Dia
lalu disuruh duduk dibangku kosong yang ternyata ada tepat dibelakang Bayu.
Bayu terlihat senyum-senyum girang. Aku lalu menoleh kebelakang, memberi senyum
pada Kikan.
“Wah.. sekelas kita ternyata Ndra..” katanya
Bayu kaget, lalu menepuk pahaku.
“Lu udah kenal dia sebelumnya?” bisiknya
Aku hanya tersenyum memberi respon.
Bersambung……
0 komentar:
Posting Komentar
Tuliskan komentarnya disini ya...